Merawat sejarah sama saja berperang melawan rasa lupa. Dalam lupa mungkin saja ada prestasi, romantisme atau aib. Dalam kelupaan itulah terpendam kebanggaan, keterpurukan, kekecewaan, dendam atau bahkan juga harapan.
Membaca perjalanan sejarah diri sendiri maupun orang disekeliling bukan perkara mudah. Upaya membaca sejarah berarti kesiapan untuk bertempur melawan kekolotan
sekaligus kemoderenan yang hari ini melekat dalam kehidupan tiap pribadi. Keinginan untuk terus merawat sejarah kadang berbentur dengan kekuatan ambisi untuk menenggelamkan masa lalu dan menggantinya dengan harapan masa baru yang dianggap lebih cemerlang. Merawat perjalanan sejarah bukan kerja sekenanya, karena keinginan untuk membelokkan atau merubahnya terus ada dan serius !
Saat ini salah satu cara merawat sejarah, terutama tradisi lokal adalah dengan menghadirkan kembali pernik yang mampu menggambarkan kekhasan masa lalu. Pernik ini bisa saja berupa material maupun non materi. Sebut saja souvenir yang saat ini bertebaran di etalase atau dinding rumah mewah, setidaknya menunjukkan betapa bahwa kehadiran hari ini memerlukan 'hiasan' dari masa lalu. Souvenir yang berwujud busana, seragam seniman, seragam kantor bahkan kaos oblong pun kini tak sungkan menggunakan pernik khas tempo dulu sebagai langkah awal merawat sejarah.
Kaos oblong sebagai salah satu media untuk melestarikan tradisi kini berkembang lebih jauh menjadi industri yang mampu mencuri perhatian pebisnis. Dalam kancah nasional ada label 'Dagadu' (www.dagadu.co.id) yang menjadi New Icon Jogjakarta memiliki reputasi sebagai kaos oblong yang konsisten menyajikan tema lokal nan funny. Tentu kehadiran Dagadu hingga saat ini membuktikan bahwa media kaos oblong layak menjadi merchandise guna mendekatkan tradisi bagi kawula muda dan berpeluang menjadi ladang bisnis menggiurkan. Selain Dagadu, untuk kelas lokal atau bahkan individual juga tak terhitung produsen kaos oblong yang mengangkat tema desain tradisi daerah masing-masing. Produsen kaos aneka rupa itu percaya bahwa konsep klasik yang dikemas dalam dalam gaya modern memiliki penggemar tersendiri. Artinya jaman bisa saja berubah menjadi global, tapi selera tak selamanya harus tergadaikan oleh yang berbau asing atau baru.
Contoh kaos 'bersemangat' lokal adalah bikinan "Mas Gembol" (www.menteridesainindonesia.blogspot.com). Kaos ini menjadi menarik karena diproduksi terbatas dan merupakan hasil kompetisi desain yang digelar secara rutin. Dengan tema ke-Indonesiaan, kaos unik ini pun mampu meraih perhatian publik. Selain itu ada juga gerai yang khusus menjual kaos berdesain lokal tapi berbandrol premium seperti milik VJ Daniel. Kaos ini per potongnya masih berharga diatas Rp 100ribu. Dengan tema budaya dan sejarah Indonesia seperti Wayang, Peristiwa Proklamasi, pahlawan nasional, kaos dengan label label "DAMN! I Love Indonesia" ini toh menjadi bukti kekuatan sejarah bagi generasi baru yang sayang akan rasa nasionalisme.
Kendala bagi pemerhati budaya yang ingin menuangkan karya seni diatas kaos oblong biasaya adalah soal teknis produksi (desain dan cetak) dan pemasarannya. Banyak penikmat budaya lokal 'terpaksa' menerima desain apa adanya dalam sebuah even budaya, karena panitia menempatkan desain sebagai hal sepele dalam atribut promo maupun material acaranya. Hal itu terjadi karena soal desain maupun eksekusi produksinya dikerjakan secara asal-asalan dan spontan. Otomatis konsep desain yang sempurna kadang harus berantakan
karena kemampuan disisi produksi lemah.
Belum lagi bahwa tema desain kaos even kadang sering hanya bersifat ABS (asal bapak senang). Artinya siapa sosok yang menjadi sentral kegiatan kerap memberikan keputusan yang tidak tepat dalam urusan desain material promo. Sering desain baliho, poster hingga kaos panitia hanya memindahkan isi surat ijin acara ; kaku, garing dan norak!
Alhasil, jika pendekatan desain - termasuk dalam pembuatan kaos bernuansa lokal sarat kepentingan 'politik' penguasa maka sulit untuk menyentuh rasa primodialisme masyarakat sebagai pemilik tradisi/budaya. Ada sebuah kasus terkait itu yakni penggunaan kain batik bagi pegawai negeri sipil disebuah kabupaten di Jawa Timur. Karena motif batik itu diklaim sebagai aset budaya lokal maka pertama yang mengenakan adalah barisan birokrat. Akibatnya, masyarakat non PNS mengartikan bahwa motif batik itu adalah khusus bagi PNS bukan sebagai icon / produk budaya lokal mereka.
Tak berhenti disitu, dalam hal pemasaran nasib batik lokal itu juga mengenaskan karena terjadi monopoli secara tidak langsung. bagi khalayak yang ingin memiliki batik ini hanya dapat membelinya digerai milik koperasi pegawai A, B atau C saja. Otomatis masyarakat umum yang mendapatkan aneka kebutuhannya melalui pasar terbuka malas untuk memperoleh batik kebanggaannya itu.
Jadi perlu dimaklumi bahwa pelestarian budaya melalui media publik semacam kain batik, kaos oblong dan sebagainya sepatutnya memberi ruang agar masyarakat dari berbagai kalangan agar dapat menikmatinya tanpa rasa sungkan atau dibatasi. Karena sejarah maupun budaya bukan sekedar simbol yang cukup disematkan didada atau dinyanyikan saat upacara saja !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar